Sebagian orang agak keder atau bahkan alergi begitu mendengar kata “dogma”. Dogma menurut definisi yang umum adalah sebuah ajaran yang diterima sebagai kebenaran atau doktrin yang ditegaskan secara otoritatif, seperti yang ditetapkan oleh Gereja.[1] Mungkin dari definisi ini, ada sejumlah orang yang curiga bahwa dogma adalah “ajaran manusia” dan bukan ajaran Tuhan. Oleh karena itu, ada banyak orang yang salah paham dengan adanya keempat dogma tentang Bunda Maria yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Umumnya mereka mengira bahwa dogma tersebut merupakan ajaran “karangan” Gereja Katolik, yang tidak mempunyai dasar dari Kitab Suci. Namun demikian, anggapan ini tidak benar. Sebab semua dogma Gereja Katolik, termasuk dogma tentang Bunda Maria, ditetapkan atas dasar ajaran Kitab Suci dan Tradisi Suci, yang telah dihayati oleh Gereja sejak abad-abad awal. Bahwa perumusan dogma tentang Bunda Maria baru dilakukan di abad-abad berikutnya, tidak menunjukkan bahwa dogma tersebut adalah ajaran yang baru. Dogma tersebut dirumuskan Gereja secara lebih jelas di abad-abad ini, dengan maksud agar umat beriman semakin memahami dan menghayati ajaran tentang Kristus, yang juga menyangkut hal-hal yang berkenaan dengan ibu-Nya, Bunda Maria. Namun demikian, sebelum dinyatakan sebagai dogma, ajaran tersebut sudah berakar dalam kehidupan Gereja.
Keempat dogma Maria ini berhubungan dengan penghormatan kita kepada Bunda Maria, yang tidak terlepas dari penghormatan kita kepada Tuhan Yesus Kristus. Secara mendasar, dapat dikatakan bahwa seluruh gelar dan kehormatan Maria yang diberikan Allah kepadanya adalah demi kehormatan Yesus Kristus Putera-Nya. Kardinal John Henry Newman— seorang pastor Anglikan yang kemudian menjadi Katolik, dan diangkat Paus Leo XIII menjadi Kardinal—mengajarkan, “Kemuliaan Maria adalah demi Putera-Nya.”[2] Oleh karena itu, kedudukan penghormatan kepada Bunda Maria selalu berada di bawah penghormatan kepada Kristus. Dasar penghormatan kepada Bunda Maria adalah karena perannya sebagai Bunda Kristus, yang adalah Putera Allah.
Sebagai Bunda Putera Allah, Maria dikuduskan Allah untuk mengambil peran istimewa dalam keseluruhan rencana keselamatan-Nya. Pengudusan Maria oleh Allah inilah yang membuatnya tidak bernoda, tetap perawan selamanya, sehingga oleh rahmat Allah pula, Bunda Maria menjadi yang pertama dari seluruh anggota Gereja untuk memperoleh penggenapan janji keselamatan yang sempurna di Surga. Yaitu kemuliaan di dalam Tuhan, dan persatuan denganNya, yang dialami oleh jiwa dan tubuh.
Berikut ini adalah keempat dogma Gereja Katolik tentang Bunda Maria—yang merupakan pengajaran De fide[3]—yang sering dipertanyakan oleh saudara-saudari kita yang non-Katolik, dan juga yang belum dipahami oleh sebagian umat Katolik sendiri.
Dasar dari dogma ini adalah karena Yesus Kristus yang dilahirkan oleh Bunda Maria adalah Allah, maka Maria disebut Bunda Allah (lih. Luk 1:43). Dogma Maria Bunda Allah dirumuskan dalam Konsili Efesus (431), dan dijelaskan kembali di Konsili Kalsedon (451):
“... Perawan suci [Maria] adalah Bunda Allah...”[4]
“[Yesus]... lahir dari Bapa sebelum segala abad menurut kodrat ke-Allahan-Nya, dan di masa akhir, karena kita dan demi keselamatan kita, lahir dari Perawan Maria, menurut kodrat kemanusiaan-Nya; Kristus yang satu dan sama, Putera Allah.....”[5]
Dasar dogma ini adalah karena Kristus adalah Allah, maka proses pembentukan-Nya sebagai janin tidak memerlukan campur tangan benih laki-laki, namun oleh kuasa Roh Kudus saja (Luk 1:35). Dengan demikian keperawanan Maria tetap tidak terganggu, sebagaimana nyata dalam rumusan Baptisan sejak abad ke-3. Kristus yang datang ke dunia untuk menebus dosa dan memulihkan kerusakan akibat dosa, tidak mungkin pada saat kedatangan-Nya malah merusak keutuhan ibu-Nya sendiri, dan menyebabkan sakit melahirkan seperti yang dialami oleh semua perempuan lainnya, sebagai akibat dari dosa asal (lih. Kej 3:16). Sebab dalam penjelmaan-Nya sebagai manusia, Kristus memang mengalami segala hal yang dialami oleh manusia, hanya saja Ia tidak berdosa (lih. Ibr 4:15).
Karena keadaan-Nya yang tidak berdosa ini, maka Yesus mempunyai kekhususan jika dibandingkan dengan semua manusia lainnya. Kekhususan ini nampak sejak Ia mengambil rupa manusia di dalam rahim Bunda Maria, saat kelahiran-Nya dan setelah kelahiran-Nya. Yesus menjadi manusia tanpa benih laki-laki, dan kelahiran-Nya ke dunia tidak merusak keperawanan ibu-Nya. Dogma “Bunda Maria Tetap Perawan” dirumuskan secara eksplisit dalam Konsili Konstantinopel II (553) dan Sinoda Lateran (649), yang menyatakan bahwa Bunda Maria adalah Perawan, sebelum, pada saat, dan setelah kelahiran Kristus:
“... Sang Sabda Allah yang berinkarnasi dari Maria Bunda Allah yang kudus dan mulia dan tetap perawan...”[6]
“Maria, yang tetap Perawan terberkati dan tiada bernoda... mengandung tanpa benih, dari Roh Kudus, dan melahirkan tanpa melukai (keperawanannya) dan keperawanannya tidak terganggu setelah melahirkan.”[7]
Dasar dogma ini adalah karena Kristus adalah Mesias, Imam Besar Pengantara satu-satunya kepada Allah Bapa, maka Ia adalah Yang Saleh, tanpa salah, tanpa noda, “yang terpisah dari orang-orang berdosa” (Ibr 7:26). Keterpisahan Kristus secara total dengan dosa, mensyaratkan kekudusan ibu-Nya juga, sebab penjelmaan-Nya sebagai manusia mengambil tempat di tubuh ibu-Nya, dan karena itu, melibatkan tubuh ibu-Nya. Dengan demikian, ibu yang mengandung Kristus pun harus terpisah sama sekali dengan dosa—tanpa noda dosa—sebab Kristus yang dikandungnya adalah Allah yang tidak bernoda dosa. Pertanyaan selanjutnya adalah, “Sejak kapan Maria dijadikan tanpa dosa oleh Allah?” Karena sabda Allah mengajarkan bahwa kehidupan manusia dimulai sejak terbentuk dalam rahim ibu (lih. Ayb 31:15, Mzm 139:13), maka Gereja mengajarkan bahwa Bunda Maria dikuduskan Allah sejak ia terbentuk di dalam kandungan ibunya. Bunda Maria dikuduskan—yaitu dibebaskan dari noda dosa—sebab ia dipersiapkan oleh Allah untuk mengandung dan melahirkan Putera-Nya yang kudus dan tak berdosa. Dengan demikian, kekudusan Bunda Maria sesungguhnya merupakan karunia Allah yang diberikan kepada Maria, demi tugas istimewanya sebagai Bunda bagi Sang Putera Allah. Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa, yang dikeluarkan oleh Paus Pius IX tanggal 8 Desember 1854 dalam Konstitusi Apostolik Ineffabilis Deus, nyatakan:
“... bahwa Bunda Maria yang terberkati, seketika pada saat pertama ia terbentuk sebagai janin, oleh rahmat yang istimewa dan satu-satunya yang diberikan oleh Tuhan yang Mahakuasa, oleh karena jasa-jasa Kristus Penyelamat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal.”[8]
Dasar dogma ini adalah karena Bunda Maria bebas dari noda dosa asal, dan karenanya juga tidak berdosa sepanjang hidupnya, maka ia menjadi yang pertama dari seluruh orang beriman yang menerima janji Kristus akan mahkota kehidupan abadi (lih. Yak 1:12; 1Kor 9:25; Why 2:10). Oleh karena Bunda Maria adalah seorang yang telah membuktikan kesetiaannya dan bertahan dalam iman sampai akhir hidupnya, maka ia beroleh penggenapan janji Tuhan. Dogma Maria Diangkat ke Surga ini dinyatakan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950, dalam surat ensikliknya, Munificentissimus Deus:
“Maria, Bunda Allah yang tak bernoda dan Bunda Allah yang tetap Perawan, setelah selesai hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.”[9]
Paus juga menyatakan, bahwa ajaran tentang Bunda Maria diangkat ke Surga akan mendorong kita untuk mencontoh teladan iman Maria, dan mengarahkan hati kepada pengharapan iman kita akan kebangkitan:
“.... Kita dapat berharap bahwa mereka yang merenungkan teladan mulia yang ditunjukkan oleh Maria akan menjadi semakin yakin tentang nilai sebuah kehidupan manusia yang dipersembahkan dengan cinta untuk melaksanakan kehendak Bapa dan untuk membawa kebaikan kepada sesama. Maka, …. dengan cara yang agung ini, semoga semua orang dapat dengan jelas melihat kepada tujuan akhir yang mulia dari tubuh dan jiwa kita. Akhirnya, adalah harapan kami bahwa kepercayaan akan pengangkatan tubuh Maria ke Surga akan membuat iman kita akan kebangkitan kita sendiri menjadi semakin kuat dan menjadi lebih berdaya guna ….” [10]
Maka sesungguhnya dogma tentang ‘Bunda Maria Diangkat ke Surga’, bukan semata-mata hanya untuk menghormati Bunda Maria, tetapi juga untuk mengingatkan akan pengharapan kita sebagai umat beriman, yaitu bahwa jika kita setia beriman sampai akhir seperti Bunda Maria, kita pun akan diangkat ke Surga, tubuh dan jiwa, dan memperoleh mahkota kehidupan.
[1] Menurut Dictionary.com, Dogma adalah: “a specific tenet or doctrine authoritatively laid down, as by a church: the dogma of the Assumption....”
ref: http://dictionary.reference.com/browse/dogma?s=t
[2] Cardinal Henry Newman, in Discourses to Mixed Congregations (1849), Discourse 17, “The Glories of Mary are for the sake of her Son”, ref: http://newmanreader.org/works/discourses/discourse17.html.
[3] Pengajaran De fide adalah pengajaran yang telah dinyatakan sebagai kebenaran yang diwahyukan Allah (fides divina) dan Gereja melalui pengajarannya menyatakan bahwa kebenaran tersebut termuat dalam Wahyu atas dasar Wewenang Mengajar Gereja yang tak mungkin salah (fides catholica).
[4] D 113.
[5] Pernyataan definisi ajaran iman dalam Konsili Kalsedon (451), yang selengkapnya dapat dibaca secara online di situs: http://www.papalencyclicals.net/Councils/ecum04.htm#Definition of the faith.
[6] DS 422, Konsili Konstantinopel II, ref: http://www.papalencyclicals.net/Councils/ecum05.htm#Anathemas%20against%20the%20Three%20Chapters, point. 14, lihat juga point 2 dan 6.
[7] D 256; Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, (Rockford, Illinois: TAN Books and Publishers, 1974), p.203-207.
[8] Paus Pius IX, Ineffabilis Deus, DS 2803; http://www.papalencyclicals.net/Pius09/p9ineff.htm.
[9] Paus Pius XII, Munificentissimus Deus, 44;
http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/apost_constitutions/documents/hf_p-xii_apc_19501101_munificentissimus-deus.html.
[10]Paus Pius XII, Ibid., 42.